Miskin atau Kaya ? (Menurut Pandangan Islam)




Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kemiskinan sebagai hiasan bagi hamba-hamba-Nya yang saleh dan beruntung ketika mereka menerima kemiskinan itu dengan ridho (rela) dan taslim (pasrah); dengan syukur dan sabar.
Kemiskinan yang diterima dengan perasaan gelisah, susah, dan tidak rela (protes) terhadap qodho (ketetapan) dan qodar (takdir) Allah SWT, akan menjadi bencana yang dapat menyeret seseorang ke dalam siksa Allah.  Kemiskinan yang terpuji menurut Al-Quran dan Sunnah adalah yang diterima dengan sabar, rela dan adab yang baik kepada Allah, sebagaimana sabda Nabi saw:
الفَقْرُ أَزْيَنُ بِالْمُؤْمِنِ مِنَ الْعِذَارِ الْحَسَنِ عَلَى خَدِّ الْفَرَسِ
Kefakiran bagi orang Mukmin lebih baik daripada sabuk kulit yang indah di pipi kuda. (HR Thabrani)

            Adapun kemiskinan yang tercela adalah kemiskinan yang diterima dengan rasa marah, sempit dada, dan protes atas ketetapan Allah.  Inilah yang diisyaratkan dalam Hadis nabi:
كَادَ الْفَقْرُ أَنْ يَكُوْنَ كُفْرًا
Hampir-hampir kefakiran itu mengakibatkan kekafiran.
(HR Baihaqi)
            Tetapi, karena kefakiran lebih mendekatkan manusia pada keselamatan, keberuntungan dan kebahagian dibandingkan dengan kekayaan, maka kefakiranlah yang menjadi pilihan para nabi dan wali, baik dahulu maupun sekarang.
            Seorang fakir yang menerima kefakirannya dengan perasaan rela (ridho) dan syukur, akan mendapat kedudukan di sisi Allah yang tidak dapat dicapai oleh orang kaya yang bersedia mengorbankan jiwa dan hartanya di jalan Allah SWT.  Sedangkan seorang fakir yang berkeluh-kesah lebih jelek daripada orang kaya yang buruk.  Sebab, ia protes kepada Allah dan ini perbuatan yang sangat buruk.  Adapun orang kaya, ia hanya tertipu oleh dunia serta membelanjakannya pada jalan yang tidak diridhoi Allah.  Begitulah jawaban atas pertanyaanmu.  Semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada Sayyidina Muhammad berikut keluarga dan para sahabatnya.
(‘Abdullah bin ‘Alwi al-Haddad, Nafaisul ‘Uluwiyyah fil Masailis Shufiyyah, cet. I, Darul Hawi, 1993/1414H, hal.66-67)

0 komentar:

Posting Komentar