Hukum Melintas didepan Orang yang sedang Shalat




Imam atau orang yang ingin menunaikan shalat sendiri (munfarid), disunnahkan untuk meletakkan sutrah (pembatas) dihadapannya (1) . Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda :
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُم فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئاً، فإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصُبْ عَصاً، فإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ عَصاً فَلْيَخْطُطْ خَطَّاً ثُمَّ لاَ يَضُرُّهُ مَا مَرَّ أَمَامَهُ
"Jika salah seorang dari kalian shalat maka hendaknya dia meletakkan sesuatu di hadapannya, jika ia tidak mendapatkannya, maka hendaknya dia menancapkan tongkat, jika dia tidak mempunyai tongkat maka hendaknya dia membuat garis, maka apa yang lewat di depannya (di luar garis) tidak akan merugikannya.” (HR Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad)
لاَ تُصَلِّ إِلاَّ إِلَى سُتْرَةٍ، وَلاَ تَدَعْ أَحَدًا يَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْكَ فَإِنْ أَبَى فَلْتُقَاتِلْهُ، فَإِنَّ مَعَهُ الْقَرِيْنَ
"Janganlah engkau shalat melainkan ke arah sutrah (di hadapanmu ada sutrah) dan jangan engkau biarkan seseorangpun lewat di depanmu. Bila orang itu menolak (tetap bersikeras ingin lewat), maka perangilah dia, karena sesungguhnya bersamanya ada qarin (setan).” (HR Ibnu Khuzaimah)
Sutrah dapat berupa kursi, tongkat, tembok, tempat tidur atau segala sesuatu lainnya yang dapat mencegah seseorang melintas di hadapannya, ketika ia sedang shalat. Menurut pendapat terkuat, sebagaimana dikemukakan oleh Habib ‘Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur, melintas diantara orang yang shalat dan sutrah-nya adalah haram. Dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda :
لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَيِ الْمُصَلِّي مَاذَا عَلَيْهِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
"Seandainya seseorang yang lewat di hadapan orang yang shalat itu tahu sebesar apakah dosanya, maka berhenti menunggu selama 40 adalah lebih baik baginya daripada ia melintas di hadapan orang yang shalat itu. (HR Bukhari)
Perawi hadits ini tidak mengetahui dengan pasti Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam menyebut 40 hari, bulan ataukah tahun.
----------------------------------------------------------------------
1. Lihat 'Abdurrahman Al-Jaziri, Tafshilul Fiqh 'Alal Madzahib Al-Arab'ah, Darul Fikr, 1995, Juz.I, hal.254.

0 komentar:

Posting Komentar